Jakarta (Suara Pembaruan: 06/07/06) Tahun 2006 ini, perguruan tinggi negeri
menyediakan 93.000 kursi melalui seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB).
Jumlah yang diterima diperkirakan hanya seperempat dari total lulusan sekolah
menengah atas yang mendaftar dan mengikuti seleksi. Jumlah pendaftar meningkat
sekitar 30.000 peserta dibandingkan tahun lalu.
Banyaknya
pendaftar itu menunjukkan minat yang besar untuk memasuki perguruan tinggi.
Bahkan kalau kita cermati setiap kali pergantian tahun ajaran, minat bersekolah
semakin besar, baik di tingkat sekolah dasar, sekolah menengah maupun perguruan
tinggi. Persaingan untuk masuk ke sekolah tertentu menjadi begitu ketat dalam
seleksi akademis maupun finansial.
Gambaran ini sangat berbeda dengan dua atau tiga dekade lalu, masih banyak
kelompok masyarakat yang harus didorong-dorong untuk bersekolah. Pada era itu
masih ada kelompok masyarakat yang merasa cukup jika anak mereka bisa baca,
tulis dan berhitung. Bahkan di desa-desa banyak anak sekolah yang tidak sampai
menyelesaikan pendidikan dasar.
Keadaan sudah berubah. Pendidikan sudah dilihat sebagai proses membangun
manusia yang berkualitas dan memasuki peluang untuk hidup yang lebih baik.
Pandangan lama yang menghambat minat bersekolah telah ditanggalkan.
Untuk meraih kesempatan yang terbatas itu, sekarang setiap orang harus
bersaing. Seleksi masuk tak lagi terbatas ujian yang hasilnya memberi prediksi
bahwa yang lulus akan mampu menyelesaikan seluruh program pendidikan dengan
baik, tetapi juga kemampuan finansial. Biaya pendidikan dari tahun ke tahun
terus meningkat, bahkan lebih cepat dari pertumbuhan rata-rata kesejahteraan
penduduk.
Namun minat untuk sekolah tetap tidak terbendung. Jumlah lulusan sekolah
menengah atas yang ikut seleksi ke perguruan tinggi negeri dibandingkan kursi
yang ditawarkan memberi gambaran yang nyata tentang minat pendidikan.
Hal ini merupakan perkembangan yang harus diimbangi dengan sistem evaluasi
yang baik. Pembangunan pendidikan yang mampu mengubah dari bersekolah dengan
didorong-dorong menjadi suatu kebutuhan, harus direspons dengan kebijakan yang
baik dalam evaluasi, baik untuk mengukur capaian peserta didik di jenjang
pendidikan tertentu, maupun seleksi untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih
tinggi.
Dalam beberapa pekan belakangan, masalah evaluasi pendidikan menjadi pusat
pembicaraan, karena ujian nasional (UN) yang diragukan validitasnya, tetapi
hasilnya menjadi dasar utama penentuan kelulusan. Korban UN yang tidak valid
ini sekarang hanya bisa menyaksikan kawan-kawan mereka ber- saing untuk
pendidikan di perguruan tinggi.
Keadaan yang ironi justru digambarkan oleh SPMB ini, di mana perguruan
tinggi negeri tidak menggunakan hasil UN sebagai dasar seleksi. Jika hasil UN
cukup valid, hasilnya tidak hanya menggambarkan capaian peserta didik, tetapi
juga prediksi tentang potensi untuk menyelesaikan pendidikan di tingkat
selanjutnya.
Jika hasil UN demikian, maka perguruan tinggi bisa menetapkan nilai minimum
untuk mereka yang bisa masuk. Dalam kondisi jumlah pendaftar lebih dari kursi
yang tersedia, ditentukan dengan peringkat.
Kekacauan dalam
sistem evaluasi pendidikan ini juga terlihat dalam penerimaan siswa sekolah
menengah pertama, seperti di Jakarta yang menggunakan tes akademi umum (TAU).
Yang terjadi adalah ribuan kursi yang belum terisi, padahal sudah
bertahun-tahun ditetapkan wajib belajar sembilan tahun. Pada jenjang pendidikan
yang makin tinggi, kesempatan yang tersedia tampaknya tidak mampu mengimbangi
minat yang tumbuh pesat. Sayangnya kompetisi untuk meraih hal itu tidak dikawal
oleh prinsip-prinsip penting pendidikan. Kecenderungan yang paling kuat justru
pada biaya.
Hal ini terjadi karena sistem evaluasi pendidikan yang dikembangkan
mengandung banyak masalah, seperti UN. Banyaknya mahasiswa yang gagal
menyelesaikan pendidikan (dropout) juga pertanda bahwa SPMB belum mampu menjadi
sarana seleksi yang baik, di samping faktor lain. Oleh karena itu, sekarang
diperlukan sistem evaluasi pendidikan yang valid, dan terintegrasi agar tugas
mencerdasakan bangsa ini bisa dicapai.
Beberapa Teknik Evaluasi Belajar
Sebelum
membicarakan teknik-teknik evaluasi, berikut ini beberapa prinsip yang perlu
diperhatikan guru dalam merencanakan evaluasi.
1. Objektivitas
Guru harus
merencanakan alat evaluasi secara objektif dalam arti benar-benar ingin
mengetahui apa yang perlu diketahuinya. Dengan demikian alat evaluasi bentuk
soal atau angket harus berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar mencakup:
metode, bahan pengajaran, dll. Guru tidak boleh menyusun bahan evaluasi
terhadap materi pengajaran yang belum pernah dipelajari oleh peserta didik. Hal
demikian bersifat subjektif dan merugikan. Guru juga harus belajar
mengesampingkan aspek emosinya (sentimen) dalam relasi dengan peserta didik (kejengkelan
atau keakrabannya). Kalau tidak, masalah sentimen ini dapat mempengaruhi proses
evaluasi.
2. Kegunaan dan Relevansi
Guru harus
menetapkan alat evaluasi yang betul-betul absah (valid) untuk mengukur kemajuan
belajar ataupun program pengajaran. Guru juga harus bersikap adil dalam
memberikan jumlah soal atau pertanyaan yang akan dijawab peserta didik, sesuai
dengan alokasi waktu. Pengerjaan soal ujian hendaknya tidak melampaui waktu
yang dipakai dalam pengajaran.
3. Menyeluruh
Sebaiknya
evaluasi yang dilakukan guru jangan bersifat sepihak, dalam arti hanya mengukur
kemajuan atau kegagalan peserta didik. Ia juga harus berusaha menilai segi-segi
lain yang berkaitan dengan interaksi belajar mengajar. Misalnya saja masalah
kehadiran dan keaktifan diskusi dalam semua pertemuan, serta munculnya
kreativitas dan kebersamaan dalam kerja kelompok.
BEBERAPA TEKNIK
Kita dapat
melaksanakan evaluasi belajar ataupun program melalui berbagai
teknik/pendekatan. Tentu saja setiap pendekatan memiliki kekuatan dan
kelemahannya sendiri. Di bawah ini beberapa teknik evaluasi yang perlu kita
singgung.
1. Evaluasi melalui tugas-tugas (PR).
Tugas
yang diberikan dengan baik dan jelas dapat membantu peserta didik untuk
menampilkan kemampuan belajarnya termasuk spiritualitas, pengetahuan dan
pengertian, keterampilan serta orisinalitasnya. Oleh karena itu, guru juga
harus memberitahukan prosedur penilaian terhadap tugas yang diberikannya,
antara lain:
• Segi kegunaan
tugas harus jelas diketahui oleh peserta didik.
• Kesesuaian dengan beban
studi.
• Prosedur penilaian dan
kriterianya.
• Prosedur atau
teknik kerja.
• Perundingan
segi waktu pekerjaan (berapa lama).
• Kesiapan guru
dalam memberikan bimbingan.
2. Evaluasi melalui bantuan rekan.
Sering rekan
pengajar lainnya dapat memberitahukan dengan baik sisi-sisi kekuatan dan
kelemahan kita sendiri dalam banyak segi, seperti kerohanian, watak dan sikap,
minat, pengetahuan dan keterampilan. Guru dapat merencanakan "alat"
bagi keperluan ini, dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang dikemukakan di
atas. Sepatutnyalah guru memandang peserta didiknya (khususnya remaja, pemuda
dan orang dewasa) sebagai "rekan sekerja" yang dapat membantu dirinya
sendiri dalam meningkatkan wawasan dan keterampilan keguruannya.
3. Evaluasi berdasarkan ujian.
Alat yang
sering dipakai dalam kesempatan semacam ini disebut tes.
a. Tes objektif meliputi pilihan berganda,
benar-salah, isian (menjodohkan). Sangat tepat untuk menilai segi-segi kognitif
secara cepat dan menyeluruh. Tetapi jenis tes ini tidak dapat melihat segi
kreativitas peserta didik dengan tepat.
b. Tes esai tertutup disajikan dengan cara
memberikan soal untuk dikaji atau dipikirkan berdasarkan bahan pengajaran yang
diterima murid. Bentuk ujian semacam ini sangat baik dan mungkin tepat untuk
menilai kemampuan belajar, kedalaman, dan ketajaman pengertian peserta didik.
Namun, untuk menilainya diperlukan lebih banyak waktu.
c. Tes esai terbuka. Yang sangat dipentingkan
dalam hal ini adalah kemampuan memahami, aplikasif, analisis, sintesis serta
evaluatif peserta didik, dengan menggunakan fakta tertulis (ide, angka-angka,
dll.).
4. Evaluasi berdasarkan pengamatan.
Hal ini penting
dalam rangka mengukur keterampilan dan sikap yang dituntut berkembang dalam diri
peserta didik. Karena itu, guru harus menetapkan segi-segi kualitas yang akan
diukur (items) termasuk aspek pengetahuan, penguasaan materi, pengertian,
kemampuan menggunakan alat, keterampilan kerja, komunikasi, dll.
5. Evaluasi berdasarkan interview, termasuk ujian lisan
komprehensif.
Guru dapat
mengukur kemajuan peserta didik dengan cara mengajaknya berbincang-bincang
mengenai pokok tertentu. Kemudian guru memberitahu kemajuan dan kelemahan
peserta didik berdasarkan hasil wawancara itu. Harus disadari bahwa bentuk
semacam ini sering pula mengundang debat emosional dan pembicaraan yang tak
tentu arahnya.
Sumber:
• Menjadi Guru Profesional Sebuah Perspektif
Kristiani, B. Samuel Sidjabat, M.Th., Ed.D., , Artikel Sekitar Evaluasi
Belajar, halaman 117 - 119, Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 1993.
0 komentar:
Posting Komentar